Fokus Dan Lokus Otonomi
Irfan Ridwan
Maksum
Sudah Sesuaikah...? |
Fokus Dan Lokus Otonomi. Sorotan
terhadap perilaku kepala daerah kini marak, terlebih di daerah-daerah yang akan
segera dilakukan pilkada di mana sang petahana mencalonkan diri kembali. Kasus
bupati Garut salah satunya.
Di
samping itu, pribadi kepala daerah juga selalu menjadi topik menarik,
sampai-sampai masyarakat hampir melupakan bagaimana kondisi dan permasalahan
kompleksitas yang nyata dihadapi daerahnya. Misalnya, Gubernur Joko Widodo.
Betapapun hebatnya permasalahan kota Jakarta, ternyata terkalahkan oleh
kesahajaan sang gubernur.
Gejala
ini mengubah fokus dan lokus otonomi daerah di Indonesia. Tentu akan
berpengaruh pula dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ke depan
terutama pada 2013.
Personifikasi
segi empat
Membaca
gejala tersebut, tampak di satu sisi fokus diskursus otonomi daerah bergeser
dari semula mengenai berbagai aspek makronasional, kemudian bergerak ke
aspek-aspek makrolokal, lalu menjadi individu kepala daerah. Di sisi lain,
pergerakan lokus (letak) otonomi tidak kalah rumitnya.
Semula
pembicaraan otonomi daerah selalu terkait segitiga piramida tanpa ujung-pangkal
antara provinsi, kabupaten, dan kota saja. Kini ketiganya harus dihadapkan
kepada otonomi desa yang ingin juga mendapatkan tempat yang luas. Berubahlah
komposisi segitiga tersebut menjadi segi empat belah ketupat dengan provinsi di
atas, kabupaten dan kota di sisi kanan-kiri, serta desa di bawah menjadi segi
empat tanpa ujung-pangkal.
Dari
sisi letak, pemerintah nasional berdiri di antara segi empat itu. Dengan
demikian membawa pada model tabung empat sisi dengan posisi pemerintah pusat
merupakan titik tersendiri yang membawahi secara simetrik keempat lokus otonomi
itu.
Jika
dipadukan antara pergerakan fokus dan lokus, terjadi pola pelaksanaan otonomi
dengan model personifikasi segi empat: gubernur, bupati/wali kota dan kepala
desa. Jika keadaan tak berubah, artinya pilkada langsung tetap dilaksanakan di
setiap daerah dan desa ditetapkan dengan otonomi yang lebih kuat menurut revisi
UU yang sedang digodok, personifikasi segi empat ini jadi ujung tombak
perubahan pemerintahan di Indonesia. Maka,
pemerintah pusat harus memainkan peran lebih baik ke depan terhadap pola
personifikasi segi empat. Ingat, walaupun segi empat, jumlahnya telah mencapai
lebih kurang 500 daerah otonom. Membutuhkan manajemen yang kuat dan rapi.
Pola
kerja personifikasi segi empat ke depan jadi tumpuan harapan. Sejumlah faktor
yang menjadi kendala terhadap pola itu, antara lain, Faktor pertama, menyangkut
lemahnya etika pemerintahan dalam penerapan desentralisasi di bawah NKRI.
Desentralisasi harus didasari etika pemerintahan yang kuat.
Desentralisasi
merupakan alat. Dalam alat itu terkandung berbagai persyaratan teknis yang
harus diketahui dan dijiwai oleh pelaku desentralisasi dan otonomi daerah.
Otonomi dalam sebuah negara-bangsa merupakan subordinat dari kedaulatan. Dengan
demikian, kedaulatan NKRI adalah pengendali otonomi daerah yang berada di
dalamnya.
Faktor
kedua, lambannya birokrasi pusat (sentralisasi) dalam NKRI menjadi alat
pemerataan pembangunan. Kehadiran desentralisasi dalam negara-bangsa, yang
ingin menguatkan kondisi ekonomi agar pemerataan pembangunan terjadi,
membutuhkan instrumen sentralisasi yang efektif menjangkau wilayah yang besar
seperti Indonesia.
Ketiga,
faktor tidak jelasnya batas-batas pemahaman konsep otonomi baik di benak elite
politik dan birokrasi pusat ataupun lokal. Otonomi di benak elite politik lokal
cenderung disamakan kedaulatan dan atau auto-money di benak elite politik
nasional adalah wadah untuk mempertahankan status quo.
Keempat,
tidak adanya elite yang menjadi contoh. Efektivitas kerja alat-alat
negara-bangsa di atas membutuhkan peran elite yang memiliki visi dan kekuatan
ke arah yang positif. Tampak bangsa ini kehilangan elite yang menjadi contoh.
Di samping itu, elite ini tidak berubah sejak lampau hanya sebagai
"patron". Pola sebagai patron ini amat merusak sistem pemerintahan
daerah.
Reorientasi
Pada
tahun-tahun mendatang, khususnya di 2013, mau tak mau harus ada ide dan gerakan
yang nyata sampai pada praktik pemerintahan daerah untuk menegaskan arah
otonomi. Arah otonomi akan semakin jelas jika, pertama, dimulai dengan
penguatan pemahaman dari sisi konsep dan praktik NKRI sebagai wadah bangsa
Indonesia meraih tujuan-tujuan yang diinginkan.
Kedua,
sinergi antara instrumen desentralisasi dan instrumen-instrumen lain harus
diperkuat dalam NKRI. Ketiga, perlunya buku putih mengenai otonomi dan
pelaksanaannya dalam NKRI.
Terakhir,
harus didorong munculnya elite yang mampu menjadi contoh yang baik dan
berpengaruh pada ranah praktik pemerintahan daerah. Semoga pelaksanaan otonomi
daerah dalam NKRI makin baik.
Irfan
Ridwan Maksum Anggota DPOD RI; Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP
UI dan UMJ
1 komentar:
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ternyata banyak menyimpang dari substansi tujuan awal yang ada dalam konsep otonomi daerah itu sendiri. Banyak permasalahan baru yang ternyata timbul di daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah. Diharapkan ke depan perlu adanya evaluasi yang mendalam terhadap pelaksanaan otonomi daearah di seluruh wilayah Indonesia, serta harus ada tindakan tegas terhadap penyimpangan yang terjadi dalam praktek pelaksanaan otonomi di daerah.
Posting Komentar